Suku Asmat: Sejarah, Pakaian, Rumah & Adat Istiadatnya!

Daftar Isi

Nyero.ID -  Suku Asmat, juga dikenal sebagai "Asmat people" atau "Asmat tribe," menjalani kehidupan mereka di wilayah pesisir barat daya Papua, Indonesia. Terletak di kawasan pedalaman yang sulit diakses, Suku Asmat hidup di antara hutan lebat dan sungai-sungai yang membelah daerah tersebut.

Keunikan lingkungan ini membentuk pola hidup dan kebiasaan mereka, yang tercermin dalam seni, ritus, dan tradisi khas yang diwarisi secara turun-temurun.

Memahami keberagaman budaya di Indonesia bukan hanya sebuah tanggung jawab, melainkan sebuah keharusan. Setiap suku, termasuk Suku Asmat, adalah gugusan berharga yang merangkum nilai-nilai luhur, kearifan lokal, dan cara hidup yang unik.

Melibatkan diri dalam pengetahuan mengenai keberagaman ini adalah langkah awal untuk menghargai dan merawat warisan budaya yang menjadi ciri khas bangsa ini. 

Suku Asmat Sejarah, Pakaian, Rumah & Adat Istiadatnya!

Sejarah dan Asal-Usul Suku Asmat

Sukus Asmat, sebuah kelompok etnis yang mendiami bagian tengah Papua, Indonesia, memiliki sejarah dan asal-usul yang kaya dan mendalam. 

Keberadaan mereka tidak hanya mencerminkan kehidupan tradisional yang unik, tetapi juga menyiratkan perjalanan panjang peradaban yang tahan terhadap perubahan zaman.

Sejak tahun 1904, nama Suku Asmat telah dikenal di seluruh dunia. Pada tahun 1770, seorang penjelajah Eropa, James Cook, mengalami insiden dramatis di wilayah Asmat ketika puluhan perahu lesung panjang, dikayuh oleh laki-laki berkulit gelap dengan wajah dan tubuh yang dihiasi warna merah, hitam, dan putih, menyerang dan melukai anak buahnya. 

Namun, pada 10 Oktober 1904, sebuah kapal, SS Flamingo, mendarat di teluk di pesisir barat daya Irian Jaya tanpa terjadinya kontak berdarah. Sebaliknya, terjadi pertukaran barang yang damai, membuka jalan bagi penyelidikan lebih lanjut di daerah Asmat.

Ekspedisi-ekspedisi oleh berbagai negara, seperti Hendrik A. Lorentz dari Belanda pada 1907-1909 dan A.F.R Wollaston dari Inggris pada 1912-1913, terlibat dengan Suku Asmat yang semi-nomaden, yang terlibat dalam pergerakan dan konflik dengan penduduk setempat. 

Pemerintah Belanda berupaya mengatasi kekacauan dan perang dengan mendirikan pos pemerintahan di Agats pada 1938, meskipun harus ditinggalkan selama Perang Dunia II.

Setelah perang, hubungan dengan Suku Asmat kembali terjalin dengan pembangunan pos polisi pada 1953. Pada Mei 1963, Irian Jaya menjadi wilayah Indonesia, dan pemerintah Indonesia mulai melaksanakan pembangunan di daerah Asmat, menyatukan suku yang tersebar di hutan-hutan ke perkampungan mudah dijangkau di sepanjang pantai atau sungai.

Dalam konteks kepercayaan Suku Asmat, Pastor Zegwaard, seorang misionaris Katolik Belanda, mengumpulkan informasi yang menyatakan bahwa mereka percaya berasal dari Fumeripits (Sang Pencipta).

Legenda menyebutkan bahwa Fumeripits, yang terdampar di pantai dalam keadaan sekarat, diselamatkan oleh burung dan membangun rumah panjang dengan patung-patung kayu yang akhirnya menjadi manusia hidup. Tarian manusia ini diyakini menciptakan orang-orang Asmat seperti yang dikenal saat ini.

Seiring dengan pembangunan daerah oleh pemerintah Indonesia, suku Asmat mendapatkan akses ke pendidikan, layanan kesehatan, dan tempat ibadah untuk mendukung pembangunan dan kesejahteraan masyarakat Asmat.  

Agama dan Kepercayaan Suku Asmat

Masyarakat Suku Asmat menunjukkan keberagaman dalam hal agama dan kepercayaan. Meskipun mayoritas menganut agama Katolik, sekitar 70%, sementara sekitar 30% lainnya memeluk agama Kristen Protestan dan Islam, keberadaan pengaruh Animisme dan kepercayaan roh nenek moyang tetap kental dalam adat istiadat dan praktik beragama suku Asmat.

Dalam pandangan adat istiadat mereka, suku Asmat mengakui diri sebagai keturunan dewa yang berasal dari dunia mistik atau gaib, terletak di tempat mentari tenggelam setiap sore. Keyakinan ini mengakui pendaratan nenek moyang mereka di bumi, khususnya di daerah pegunungan. 

Mitologi Suku Asmat juga menyuarakan kepercayaan kepada tiga macam roh, masing-masing memiliki sifat baik, jahat, dan yang jahat tetapi sudah mati, dengan dewa utama bernama Fumeripits, berdiam di Teluk Flamingo.

Pemahaman orang Asmat terhadap dunia roh terbagi dalam tiga golongan. Yi – ow, roh nenek moyang yang dianggap baik terutama bagi keturunan mereka; Osbopan, roh jahat yang dianggap menghuni beberapa jenis tertentu; dan Dambin – Ow, roh jahat yang mati dengan cara yang konyol. Kepercayaan ini mencerminkan pandangan holistik mereka terhadap alam gaib yang mengitarinya.

Kehidupan sehari-hari orang Asmat dibanjiri oleh berbagai upacara. Upacara-upacara besar, yang melibatkan seluruh komunitas desa, selalu terkait dengan penghormatan terhadap roh nenek moyang.

Upacara seperti Mbismbu (pembuat tiang), Yentpokmbu (pembuatan dan pengukuhan rumah Jew), Tsyimbu (pembuatan dan pengukuhan perahu lesung), Yamasy pokumbu (upacara perisai), dan Mbipokumbu (upacara topeng) menjadi bagian integral dalam kehidupan mereka.

Suku Asmat percaya bahwa arwah orang yang telah meninggal dapat mengganggu kehidupan manusia sebelum memasuki surga. 

Untuk mencegah gangguan ini, mereka membuat patung dan menggelar berbagai pesta, seperti pesta patung bis (Bioskokombi), pesta topeng, pesta perahu, dan pesta ulat-ulat sagu. 

Upacara ini bukan hanya sekadar ritual, tetapi juga merupakan bentuk penghormatan, penyelamatan manusia, dan menebus arwah, mencerminkan kedalaman spiritual dan keterikatan mereka dengan alam gaib.

Adat Istiadat Suku Asmat

Seperti halnya masyarakat lainnya, suku Asmat memiliki serangkaian adat istiadat yang kaya makna dan melibatkan berbagai proses kehidupan. Berikut adalah beberapa aspek utama dari adat istiadat suku Asmat:

1. Kehamilan

Selama masa kehamilan, suku Asmat sangat memperhatikan keamanan dan kesejahteraan bakal generasi penerus. Proses ini dijaga dengan baik, dan kelahiran diharapkan berlangsung dengan selamat dengan bantuan ibu kandung atau ibu mertua.

Dalam kebudayaan mereka, kehamilan bukan hanya menjadi tanggung jawab ibu, tetapi juga melibatkan dukungan dan perhatian dari seluruh komunitas suku.

2. Kelahiran

Setelah jabang bayi lahir, suku Asmat melaksanakan upacara selamatan yang sederhana. Pada saat ini, dilakukan pemotongan tali pusar dengan menggunakan sembilu, alat yang terbuat dari bambu yang dilanjutkan dengan pemberian ASI hingga bayi berusia 2 atau 3 tahun.

Upacara kelahiran ini mencerminkan penghargaan mereka terhadap kehidupan baru dan perlunya merayakan kelahiran dengan simbol-simbol tradisional yang memiliki makna mendalam.

3. Pernikahan

Proses pernikahan di suku Asmat melibatkan kedua belah pihak yang telah mencapai kesepakatan. Pria dan wanita yang telah berusia 17 tahun dapat menjalani proses pernikahan, yang diinisiasi oleh pihak orang tua lelaki. 

Pernikahan ini juga melibatkan uji keberanian dan pembelian wanita dengan maskawin berupa piring antik, yang nilainya ditentukan berdasarkan nilai uang kesepakatan kapal perahu Johnson.

4. Kematian

Apabila kepala suku atau kepala adat suku Asmat meninggal, jasadnya disimpan dalam bentuk mumi dan dipajang di depan joglo suku. Sementara itu, masyarakat umum mempraktikkan pemakaman konvensional. 

Proses ini melibatkan nyanyian berbahasa Asmat dan pemotongan ruas jari tangan dari anggota keluarga yang ditinggalkan.

Pemeliharaan jasad dalam bentuk mumi menunjukkan penghormatan dan kepercayaan suku Asmat terhadap arwah leluhur, sedangkan pemotongan ruas jari tangan merupakan ungkapan duka yang mendalam dan simbol pengenangan terhadap yang telah tiada.

Pola hidup, kebiasaan, dan kegiatan sehari-hari Suku Asmat

Suku Asmat hidup dalam keadaan yang harmonis dengan alam sekitar. Kehidupan sehari-hari mereka diwarnai oleh pola hidup yang sangat tergantung pada siklus alam, dari mencari makanan hingga melibatkan diri dalam kegiatan-kegiatan tradisional. 

Pergantian musim dan pola cuaca memainkan peran sentral dalam aktivitas mereka, menuntun langkah mereka dalam menjalani kehidupan sehari-hari.

Dalam wilayah Distrik Citak-Mitak, kehidupan sehari-hari suku-suku, khususnya suku Asmat Darat, mengungkapkan pola hidup yang hampir serupa. 

Mereka terlibat dalam kebiasaan bertahan hidup dan mencari makan, dengan fokus utama pada berburu binatang hutan seperti ular, kasuari, burung, babi hutan, serta meramu dan menokok sagu sebagai makanan pokok. 

Para nelayan di daerah ini juga aktif mencari ikan dan udang untuk memenuhi kebutuhan pangan. 

Meskipun masih mempertahankan tradisi berburu dan meramu, kehidupan sehari-hari suku Asmat telah mengalami perubahan. Pergeseran ini mencakup pola makan mereka, yang selain dari ikan dan daging hasil buruan, juga melibatkan hidangan istimewa seperti ulat sagu.

Keunikan masakan suku Asmat tercermin dalam kegemaran mereka mengonsumsi ulat sagu. Proses persiapan ulat sagu melibatkan pembungkusan dengan daun nipah, penaburan sagu, dan pembakaran dalam bara api. Ini menciptakan cita rasa yang khas dan memperkaya ragam kuliner mereka.

Ketergantungan suku Asmat pada sumber daya lokal juga tampak dalam penggunaan batu sebagai barang berharga. 

Tempat tinggal mereka di rawa-rawa membuat batu menjadi langka, dan batu-batu ini bahkan dijadikan sebagai maskawin dalam tradisi pernikahan.

Namun, kekayaan alam tidak selalu berdampingan dengan kelangkaan. Masalah sumber air bersih menjadi tantangan bagi suku Asmat. Tanah berawa sulit menyediakan air tanah, mengharuskan mereka bergantung pada air hujan dan air rawa untuk kebutuhan sehari-hari.

Cara suku Asmat merias diri mencerminkan kesederhanaan hidup mereka. Tanah merah, kulit kerang, dan arang kayu digunakan untuk menciptakan pewarna alami yang mereka gunakan untuk menghias tubuh. Proses ini, meskipun sederhana, memberikan warna dan kehidupan pada identitas budaya mereka.

Tradisi Upacara Adat Suku Asmat

Upacara adat menjadi inti dalam kehidupan Suku Asmat, memperlihatkan keselarasan mereka dengan alam dan kehadiran roh-roh leluhur. Berikut upacara adat yang sering dilaksanakan di suku Asmat:

1. Upacara Kematian

Suku Asmat, yang menetap di Distrik Citak-Mitak, memiliki perspektif unik terhadap kematian. Mereka tidak mengenal adat penguburan mayat, karena bagi mereka, kematian bukanlah suatu hal alamiah. 

Jika seseorang tidak meninggal karena dibunuh, mereka meyakini bahwa kematian tersebut disebabkan oleh sihir hitam. Bahkan, kematian bayi yang baru lahir dianggap sebagai peristiwa biasa, karena mereka meyakini roh bayi tersebut ingin segera kembali ke alam roh-roh.

Namun, kematian orang dewasa membawa duka mendalam bagi masyarakat Asmat. Mereka meyakini bahwa kematian yang tidak terjadi pada usia yang terlalu tua atau terlalu muda disebabkan oleh kekuatan magis atau tindakan kekerasan. 

Kepercayaan ini mendorong mereka untuk membalas dendam atas kematian yang tragis. Roh leluhur, yang dihormati dalam bentuk ukiran kayu spektakuler di berbagai artefak, menjadi representasi penting dalam proses ini.

Tradisi pemakaman yang unik juga mencakup perahu lesung panjang yang digunakan untuk melepaskan jenazah ke laut. Meskipun saat ini ada pengaruh luar yang menyebabkan penguburan, upacara kematian suku Asmat tetap memperlihatkan kekayaan tradisi dan kepercayaan spiritual mereka.

2. Pembuatan Perahu Lesung

Setiap lima tahun sekali, suku Asmat mengadakan ritual pembuatan perahu baru. Proses ini bukan hanya sekadar upaya praktis untuk memperbaharui armada perahu mereka, tetapi juga memiliki makna simbolis yang mendalam. Pemilihan dan pembersihan pohon yang akan dijadikan perahu diawali dengan tata cara khusus yang menjaga keseimbangan dan kesucian.

Perahu-perahu ini dicat dengan warna putih di bagian dalam dan merah di bagian luar, dengan ukiran-ukiran yang menggambarkan keluarga yang telah meninggal atau binatang dan burung. 

Upacara resmi dan pesta perahu baru menjadi momen penyatuan masyarakat Asmat, diiringi nyanyian dan penabuhan tifa. Meskipun tradisi ini awalnya terkait dengan persiapan perang dan pengumpulan kepala musuh, saat ini perahu-perahu lebih banyak digunakan untuk pengangkutan bahan makanan.

3. Upacara Bis

Upacara Bis menjadi sorotan lain dalam kehidupan suku Asmat. Khususnya, berkaitan dengan pengukiran patung leluhur atau "Bis" yang menggambarkan anggota keluarga yang telah mati terbunuh. Dahulu, upacara ini merupakan bentuk pembalasan dendam, namun sekarang lebih berkaitan dengan peringatan terhadap anggota keluarga yang telah meninggal.

Pengukiran patung Bis dilakukan dalam waktu 6-8 minggu, di dalam rumah panjang yang menjadi pusat kegiatan religius dan non-religius. Selama proses pengukiran, terjadi pertukaran istri yang disebut "papis," menguatkan hubungan persahabatan dalam masyarakat Asmat. 

Setelah patung Bis selesai, upacara pengukuhan diadakan, diiringi tari-tarian dan penabuhan tifa. Patung Bis yang selesai kemudian ditempatkan di daerah sagu hingga rusak, melambangkan penyelesaian pembalasan dendam dan penghormatan terhadap roh-roh yang meninggal.

Pakaian dan Rumah Adat Suku Asmat

Rumah Adat Suku Asmat

Suku Asmat, sebagai salah satu kelompok etnis di Papua, Indonesia, memiliki rumah tradisional yang disebut "Jew". Rumah Jew Suku Asmat memiliki bentuk yang unik dan mudah dikenali. 

Biasanya, rumah ini dibangun dengan dinding dan atap yang terbuat dari daun rumbia, sementara tiang-tiang pendukungnya terbuat dari kayu.

Struktur rumah Jew cenderung lebih besar dan lebih tinggi dan pintu masuknya umumnya rendah, mengharuskan penghuni untuk membungkuk saat memasuki rumah, yang mencerminkan simbolisme kehormatan terhadap tempat tinggal.

Setiap elemen arsitektural pada rumah Jew memiliki peran fungsional dan simbolis. Tiang-tiang tinggi melambangkan koneksi antara alam dan manusia, sementara dinding dan atap yang terbuat dari daun rumbia menciptakan lingkungan yang sejuk di dalam rumah. 

Selain itu, rumah Jew juga sering didekorasi dengan seni ukir yang menggambarkan mitologi dan kehidupan sehari-hari Suku Asmat.

Rumah Jew bukan hanya sekadar tempat tinggal; ini juga menjadi pusat kegiatan sosial dan keagamaan. Komunitas Suku Asmat sering berkumpul di dalam rumah ini untuk berdiskusi, merencanakan kegiatan bersama, atau sekadar berbagi cerita dan pengalaman. 

Rumah Jew juga menjadi lokasi utama untuk berbagai ritual keagamaan dan upacara adat, di mana tradisi-tradisi lama dijaga dan dilestarikan.

Dalam konteks kehidupan sehari-hari, ruang di dalam rumah Jew dikelola dengan bijak. Bagian-bagian tertentu mungkin diperuntukkan bagi keluarga tertentu, dan pembagian ruang ini mencerminkan struktur sosial dan hierarki dalam masyarakat Suku Asmat.

Pakaian Adat Suku Asmat

Suku Asmat, selain terkenal dengan keahlian seni ukirnya yang mendalam, juga memiliki warisan pakaian tradisional yang memukau. 

Seluruh bahan yang digunakan untuk menciptakan pakaian ini berasal dari alam, mengukuhkan pandangan bahwa pakaian Suku Asmat adalah cermin dari kedekatan mereka dengan keindahan alam raya.

Tidak hanya terbatas pada bahan, desain pakaian Suku Asmat juga mencerminkan inspirasi yang mendalam dari alam sekitar. Pakaian laki-laki, yang sering dibuat menyerupai burung dan binatang lain, dianggap sebagai simbol kejantanan. 

Sementara itu, rok dan penutup dada perempuan menggunakan daun sagu, menciptakan tampilan yang memikat menyerupai kecantikan burung kasuari.

Pada dasarnya, pakaian laki-laki dan perempuan Suku Asmat memiliki kesamaan. Penutup kepala dari rajutan daun sagu dengan bulu burung kasuari, rumbai-rumbai daun sagu untuk bagian bawah dan dada perempuan, semuanya menjadi bagian integral dari busana adat yang khas.

Aksesori menjadi penambah daya tarik pada pakaian adat Suku Asmat. Hiasan telinga terbuat dari bulu burung kasuari, memberikan sentuhan elegan. Hiasan hidung, yang umumnya dipakai oleh laki-laki, memiliki fungsi ganda sebagai simbol kejantanan dan sebagai upaya untuk menakuti musuh. 

Kalung dan gelang, terbuat dari kulit kerang, gigi anjing, dan bulu burung cendrawasih, melengkapi keindahan dan keunikannya.

Esse, atau tas, bukan hanya sekadar aksesori. Selain menjadi wadah penyimpan ikan dan hasil ladang, esse juga menjadi simbol kemampuan seseorang untuk menjamin kehidupan dan kesejahteraan masyarakat, terutama saat diadakan upacara besar.

Dalam upacara adat, Suku Asmat tidak hanya memakai pakaian adat, tetapi juga melengkapi penampilan mereka dengan gambar-gambar di tubuh. 

Warna merah dan putih yang mendominasi gambar-gambar tersebut dianggap sebagai lambang perjuangan dalam mengarungi kehidupan. Merah, berasal dari campuran tanah liat dan air, sementara putih dihasilkan dari tumbukan kerang.

Namun, dengan berjalannya waktu dan pengaruh modernisasi, sebagian masyarakat Suku Asmat mulai meninggalkan pakaian tradisional mereka. 

Baca Juga: 

Pakaian adat kini lebih sering dikenakan oleh mereka yang masih menjaga kehidupan pedalaman, menjadi tanda keberlanjutan warisan budaya yang kaya dan menawan.

Muh. Akbar
Muh. Akbar "Live with an attitude of gratitude for the experiences that shape you, and learn with an insatiable hunger for understanding the world and your place in it."